Selasa, 30 Juli 2013

PEMBEKALAN PEMANDU BULAN KITAB SUCI NASIONAL TAHUN 2013

Pastoran Damai Bagimu, 30 Juli 2013. Sudah menjadi agenda tahunan dari Komisi Kitab Suci Keuskupan Banjarmasin, bahwa menjelang Bulan Kitab Suci Nasional ada pembekalan para Pemandu. Saat ini Pembekalan Pemandu untuk tingkat Paroki-paroki Dekenat Timur di pusatkan di Paroki St. Vincencius A Paulo Batulicin, Tanah Bumbu. Setalah pembekalan tingkat Dekenat, di tingkat Paroki dilaksanakan sosialisasi dengan menghadirkan para pemandu Komunitas dan Stasi serta para Ketua Komunitas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih melibatkan banyak komponen serta mengkonsultasikan hal-hal yang berkaitan dengan lomba-lomba menyambut 75 th Keuskupan Banjarmasin. Ketua DPP, Yordanis Andria memberikan pengantar berkenaan dengan kegiatan pembekalan dan Sosialisasi lomba ini. Ini kelanjutan dari team yang hari minggu lalu (28 Juli *red) mengikuti pembekalan di Tingkat Dekenat Timur, katanya. Yordan menambahkan, kita juga akan menyepakati hal-hal yang terkait undangan lomba di tingkat Dekenat dan juga Keuskupan. Diantaranya Lomba CCA (Cerdas Cermat Alkitab), Lomba Dramatisasi Kitab Suci, Lomba Koor (Paduan Suara), Lomba Olah Raga ( Bulu angkis dan Bola Volly).
Yordan mengatakan lomba-lomba ini memerlukan keterlibatan umat sekalian. Oleh sebab itu perlu ada kesepakatan untuk menindaklanjutinya. Dalam pertemuan itu juga mengkomunikasikan undangan Komisi Liturgi yang telah menetapkan pertemuan dengan Paul Widiyawan, Romo Prier dan team PML Yogyakarta yang akan memberikan materi tentang Liturgi, Organis dan Musik Liturgi.
Disepakati bahwa Paroki St. Yusup Kotabaru mengikuti kegiatan tingkat Dekenat yaitu lomba CCA dan Dramatisasi Kitab Suci, yang kalau menang maka mewakili Dekenat Timur untuk berlaga di tingkat Keuskupan. Mengikuti lomba Koor, walau sebelumnya sempat disepakati tidak ikut namun mengingat moment ini maka dicoba dulu berlatih, bila nanti hasil baik maka siap bertanding. Mengikuti lomba olah raga yaitu Bulu Tangkis dan Bola Volly. Person-person sudah ditentukan, dan diharapkan ada respon positif dari umat untuk terlibat.

Minggu, 14 Juli 2013

PELANTIKAN DEWAN PASTORAL PAROKI ST. YUSUP KOTABARU

Kotabaru, 15 Juli 2013. Gereja St. Yusup Kotabaru, Pulau Laut, Keuskupan Banjarmasin, Kalimantan Selatan merupakan paroki ujung timur utara dari Keukupan Banjarmasin, dan berada di sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Kalimantan. Paroki ini awalnya menjadi satu dengan Paroki Katedral Banjarmasin. Dalam perkembangannya mengalami pertambahan umat yang cukup signifikan, yang akhirnya menjadi paroki sendiri. Bahkan saat ini telah melahirkan 2 (dua) paroki yaitu Paroki St. Vincentius A Paulo Batulicin dan Stella Maris Sungai Danau. Ini adalah sebuah perkembangan yang menggembirakan, walau banyak problematika dalam perjalanannya. Dalam hal ini peran Pengurus Gereja (DPP: Dewan Pastoral Paroki*red) pastilah besar. Terlebih guna memberikan pelayanan dan perkembangan baik Kualitas maupun kuantitas.
DPP St. Yusup Kotabaru periode 2009-2012 sebenarnya sudah berakhir masa bhaktinya pada bulan Oktober tahun lalu, karena sesuatu hal maka pembentukan pengurus baru mundur hampir 1 tahun. Hal ini disebabkan banyaknya kegiatan yang bersamaan di Bulan-bulan akhir 2012. Mulai dari Natal, tahun baru, Ulang tahun paroki dan disambung dengan masa prapaskah dan Paskah.
Terbentuknya DPP St. Yusup periode 2013-2016 melalui proses pemilihan secara langsung. Berlangsungnya proses pemilihan telah menghasilkan pribadi-pribadi yang menurut umat mempunyai kepedulian dan perhatian dengan kehidupan umat. Seperti dalam tulisan yang terdahulu*red, pengurus terpilih telah diberikan tanggungjawab dan porsi yang cukup dalam kepengurusan. Dari 6 kandidat calon pengurus, akhirnya terpilih 1 orang yang mendapatkan perolehan suara terbanyak yaitu 47 suara adalah Yordanis Andria. Sehingga kandidat terpilih ini yang berhak menjadi partner Pastor dalam melayani dan memperhatikan dinamika kehidupan umat secara khusus.
Dengan terpilihnya pengurus DPP dan perangkatnya, maka perlu ada kesiapan dalam menjalankan amanat umat yang notabene tanpa embel-embel apapun. Oleh sebab itu diadakan pembekalan iman dan kesiapan hati bagi calon pelayan umat ini.
Pelantikan DPP yang baru diagendakan oleh Pastor Silvasius Jehaman, CP pada tanggal 14 Juli 2013, karena agenda Bapa Uskup yang cukup padat menjelang Sinode Keuskupan Banjarmasin. Sebelum diadakan pelantikan DPP bertemu muka dan ramah tamah dengan Mgr. Petrus Boddeng Timang (Uskup Keuskupan Banjarmasin). Dalam jumpa Pastoral tersebut Mgr. Timang mengemukakan bahwa kita hidup ditengah-tengah umat beragama lain yang secara kuantitas lebih besar dari kita. Bukan berarti kita ini kaum minoritas. Kita adalah umat yang notabene kuantitas kecil tapi kita ini diibaratkan emas dan intan, yang walau dalam lumpur sekalipun tetap menampakkan kilau yang luar biasa. Kita jangan lagi merasa bagian dari minoritas, sebab sebaiknya kita menunjukkan kualitas ditengah-tengah umat baik intern maupun ekstern.
Berkaitan dengan pertanyaan umat tentang lika-liku kehidupan umat, Mgr. menyatakan bahwa pendidikan yang utama dan pertama harus mulai dari tengah-tengah keluarga. Sehingga apabila terjadi sesuatu sungguh teguh dan kuat dalam menghadapinya. Seperti ketika anak-anak mulai memilih teman hidupnya.
Dalam Ekaristi kudus dan Pelantikan DPP yang baru periode 2013-2016, Mgr. Timang mempertegas tugas umat beriman dalam kehidupan bersama. Hal ini terkait dengan tokoh utama dalam Kitab Suci yaitu orang Samaria yang melaksanakan tugas secara paripurna sebagai seorang saudara. Saudara bukan hanya terkait dengan keterikatan daging, suku, agama, atau apapunlatar belakang kehidupannya. Sikap orang Samaria adalah sikap pribadi manusia yang mempunyai kepedulian sosial yang paripurna.
Sebagai pengurus DPP, oleh Mgr. Timang disinggung harus bisa memberikan perhatian tuntas....tas.....tas....tas..... kepada sesama.

Kamis, 11 Juli 2013

SAATNYA INTOLERANSI DIHENTIKAN DAN PANCASILA TETAP JADI PEREKAT KEHIDUPAN BANGSA

Oleh Pastor Benny Susetyo Pr 

Pada periode Januari-Juni 2013, SETARA Institute mencatat 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan, yang menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu, Jawa Timur (18)dan DKI Jakarta (10) peristiwa.

Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 8 tindakan diskriminasi. Sementara 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran (by omission).

Termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, kerangka legal untuk mempertanggung-jawabkannya adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara sebagai konsekuensi ratifikasi kovenan dan konvensi internasional hak asasi manusia.

Namun demikian, penyikapan dalam kerangka politik dapat saja dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyoal kegagalan negara menjalankan mandat Konstitusi RI yang memerintahkan negara menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.

Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, disusul unsur pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan (20) tindakan, serta Satpol PP (14) tindakan. Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 8 tindakan. Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 90 tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (19) tindakan, (9) tindakan berbagai motif pengancaman, dan (6) tindakan diskriminasi.

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku,’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.

Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.

Dapat dilihat di sini, negara gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan, dan membiarkan warga atau organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.

Di sini kita melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan yang menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.

Misalnya dalam konteks rumah ibadah. Itu bukanlah soal bagaimana rumah ibadah diserbu bahkan dibakar oleh sekelompok orang. Itu ekses saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah menjadi mediator, perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah.

SKB yang menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian, pelaksanaannya melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain. Bukanlah umat beragama yang serta merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua.

Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Jika demikian, lalu Pancasila untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu, jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktikkannya dengan sepenuh hati?

Membuka Ruang Dialog

Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat, seperti kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?

Pemerintah berkewajiban menjaga, melestarikan dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat, terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap ”lain”. Pemerintah berkewajiban memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.

Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil? Pemerintah harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan seperti ini.

Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi pertiwi ini. Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama.

Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan dan kesukuan. Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya. Sampai di sini, tak perlu lagi banyak dikatakan kecuali, kita merindukan pemimpin yang berani bertindak, pemimpin yang selaras antara ucapan dan tindakan.***

(Komentar ini ditulis oleh Pastor Antonius Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, setelah membaca Mid Term Report, Januari-Juni 2013 dengan judul “Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia” yang dikeluarkan oleh SETARA Institute, 8 Juli 2013).

Senin, 08 Juli 2013

PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 8 JULI 2013 : GLOBALISASI KETIDAKPEDULIAN

Dalam homilinya pada Misa 8 Juli 2013 yang dirayakan dengan penduduk Lampedusa, Pulau Sisilia, dan imigran yang mencari suaka di sana, Paus Fransiskus berbicara menentang "globalisasi ketidakpedulian" yang mengarah kepada tragedi seperti kematian begitu banyak imigran yang mencari kehidupan yang lebih baik.

Berikut adalah homili lengkap Bapa Suci dalam Misa tersebut.

Para imigran yang meninggal di laut, dari perahu itu, bukannya menjadi jalan harapan tetapi jalan kematian. Inilah berita utama di koran! Ketika, beberapa minggu yang lalu, saya mendengar kabar - yang sayangnya telah terulang berkali-kali - ingatan tersebut selalu kembali sebagai duri dalam hati yang membawa penderitaan. Dan kemudian saya merasa bahwa saya harus datang ke sini hari ini untuk berdoa, untuk membuat sikap kedekatan, tetapi juga untuk membangkitkan kembali hati nurani kita sehingga apa yang terjadi tidak akan terulang. Tolong, jangan terulang! Tetapi pertama-tama saya ingin mengucapkan kata terima kasih yang tulus dan dorongan kepada Anda, penduduk Lampedusa dan Linosa, kepada lembaga-lembaga, kepada para relawan dan pasukan keamanan yang telah menunjukkan dan terus menunjukkan perhatian kepada orang-orang pada perjalanan mereka menuju sesuatu yang lebih baik. Anda adalah kelompok kecil, tetapi Anda memberikan suatu teladan solidaritas! Terima kasih! Terima kasih juga kepada Uskup Agung Francesco Montenegro atas bantuannya dan karyanya, dan atas kedekatan pastoralnya. Saya dengan hangat menyambut Walikota, Nyonya Giusy Nicolini. Terima kasih banyak untuk semua yang telah Anda lakukan, dan untuk semua yang Anda lakukan. Saya memberikan suatu ingatan juga, untuk para imigran Muslim yang terkasih yang sedang memulai puasa Ramadhan, dengan keinginan terbaik bagi buah-buah rohani yang melimpah. Gereja dekat dengan Anda dalam mencari kehidupan yang lebih bermartabat bagi diri Anda dan bagi keluarga Anda. Saya mengatakan kepada Anda "O' scia'!" [sapaan ramah dalam dialek setempat].

Pagi ini, dalam terang Sabda Allah yang telah kita dengar, saya ingin mengatakan beberapa kata yang, terutama, membangkitkan hati nurani semua orang, mendorong kita untuk merenungkan dan mengubah sikap tertentu dalam cara nyata.

"Adam, di manakah engkau?" (Kej 3:9). Inilah pertanyaan pertama yang diajukan Allah kepada manusia setelah dosa. "Di manakah engkau Adam?" Adam bingung dan telah kehilangan tempatnya dalam penciptaan karena ia berpikir untuk menjadi kuat, untuk menguasai segalanya, menjadi Allah. Dan keselarasan rusak, manusia keliru - dan hal ini terulang bahkan dalam hubungan dengan sesamanya, yang bukan lagi seorang saudara yang dikasihi, tetapi hanya seseorang yang mengganggu hidupku, kesejahteraanku. Dan Allah menempatkan pertanyaan kedua: "Kain, di manakah adikmu?" (Kej 4:9). Impian menjadi berkuasa, menjadi besar seperti Allah, bahkan menjadi Allah, menyebabkan rantai kesalahan yaitu rantai kematian, menyebabkan penumpahan darah sang saudara!

Kedua pertanyaan itu bergetar bahkan hari ini, dengan segala kekuatannya! Begitu banyak dari kita, bahkan termasuk saya sendiri, yang bingung, kita tidak lagi memperhatikan dunia yang di dalamnya kita tinggal, kita tidak peduli, kita tidak melindungi apa yang telah Allah ciptakan untuk semua orang, dan kita tidak mampu peduli satu sama lain. Dan ketika kebingungan ini memangku dimensi seluruh dunia, kita tiba pada tragedi seperti yang telah kita lihat.

"Di manakah adikmu?". Suara darahnya berteriak bahkan kepada-Ku, Allah berfirman. Ini bukan pertanyaan yang ditujukan kepada orang lain: ini adalah pertanyaan yang ditujukan kepada saya, kepada Anda, kepada kita masing-masing. Saudara dan saudari kita ini berusaha meninggalkan situasi sulit untuk menemukan sedikit ketenangan dan kedamaian, mereka mencari tempat yang lebih baik bagi diri mereka dan bagi keluarga mereka - tetapi mereka menemukan kematian. Berapa kali bagi mereka yang mencari ini semua tidak menemukan pengertian, tidak menemukan penyambutan, tidak menemukan solidaritas! Dan suara mereka bangkit bahkan kepada Allah! Dan sekali lagi kepada Anda, penduduk Lampedusa, berterima kasih atas solidaritas Anda! Saya baru saja mendengarkan salah seorang dari saudara-saudara ini. Sebelum tiba di sini, ia telah melewati tangan para pedagang manusia, mereka yang mengeksploitasi kemiskinan orang lain; orang-orang ini yang baginya kemiskinan orang lain merupakan sumber pendapatan. Betapa mereka telah menderita! Dan beberapa orang tidak mampu datang!

"Di manakah adikmu?" Siapa yang bertanggung jawab atas darah ini? Dalam sastra Spanyol ada suatu sandiwara karya Lope de Vega yang menceritakan bagaimana penduduk kota Fuente Ovejuna membunuh Gubernur karena ia seorang yang bertindak sewenang-wenang, dan melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tahu siapa yang telah melaksanakan eksekusi. Dan ketika hakim raja bertanya "Siapa yang membunuh Gubernur?" Mereka semua menjawab, "Fuente Ovejuna, Pak". Semua dan tidak ada! Bahkan saat ini pertanyaan ini datang dengan paksaan: Siapa yang bertanggung jawab atas darah saudara dan saudari ini? Tidak ada! Kita semua menanggapi dengan cara ini: bukan aku, tidak ada hubungannya denganku, ada orang lain, tentu bukan aku. Tetapi Allah menanyai kita masing-masing: "Di manakah darah adikmu yang berteriak kepada-Ku?". Saat ini tidak ada seorang pun di dunia merasa bertanggung jawab untuk ini; kita telah kehilangan rasa tanggung jawab persaudaraan; kita telah jatuh ke dalam sikap imam dan pelayan altar yang munafik yang diceritakan Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik: kita memandang saudara yang hampir mati di tepi jalan, mungkin kita memikirkan "orang yang malang", dan kita melanjutkan perjalanan kita, itu bukan urusan kita; dan kita merasa baik-baik saja dengan ini. Kita merasa damai dengan ini, kita merasa baik-baik saja! Budaya kesejahteraan, yang membuat kita berpikir tentang diri kita, yang membuat kita tidak peka terhadap teriakan orang lain, yang membuat kita hidup dalam gelembung sabun, yang indah tetapi hampa, khayalan kesia-siaan, khayalan fana, yang membawa ketidakpedulian terhadap orang lain, yang bahkan membawa globalisasi ketidakpedulian. Dalam dunia globalisasi ini kita telah jatuh ke dalam globalisasi ketidakpedulian. Kita terbiasa dengan penderitaan orang lain, itu bukan keprihatinan kita, itu bukan urusan kita.

Sosok tak bernama dari Manzoni kembali. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita semua "tak bernama", pemimpin tanpa nama dan tanpa wajah.

"Adam, di manakah engkau?" "Di manakah adikmu?". Inilah dua pertanyaan yang Allah letakkan pada awal kisah umat manusia, dan yang juga Ia tujukan bagi pria dan wanita di zaman kita, bahkan bagi kita. Tetapi saya ingin mengajukan di hadapan kita pertanyaan ketiga: "Siapakah di antara kita telah menangis karena hal-hal ini, dan hal-hal seperti ini?" Siapakah yang menangisi kematian saudara dan saudari ini? Siapa yang menangisi orang-orang yang berada di perahu? Bagi ibu-ibu muda yang membawa bayi mereka? Bagi orang-orang yang menginginkan sesuatu untuk menghidupi keluarga mereka? Kita adalah suatu masyarakat yang telah melupakan pengalaman menangis, pengalaman "menderita": globalisasi ketidakpedulian telah mengambil dari kita kemampuan untuk menangis! Dalam Injil kita telah mendengar teriakan, permohonan, ratapan besar: "Rahel menangisi anak-anaknya. . . karena mereka tidak ada lagi". Herodes menabur kematian untuk mempertahankan kesejahteraan, gelembung sabun miliknya sendiri. Dan ini terus terulang. Marilah kita mohon kepada Tuhan untuk menangisi [apapun sikap] Herodes tinggal dalam pendengaran kita, marilah kita mohon kepada Tuhan rahmat untuk menangisi ketidakpedulian kita, menangisi kekejaman di dunia, dalam diri kita, dan bahkan dalam mereka yang secara anonim membuat keputusan sosial-ekonomi yang membuka jalan untuk tragedi seperti ini. "Siapa telah menangis?" Siapa dalam dunia saat ini telah menangis?

Ya Tuhan, dalam liturgi ini, suatu Liturgi pertobatan, kami mohon pengampunan atas ketidakpedulian terhadap begitu banyak saudara dan saudari, kami mohon pengampunan bagi mereka yang senang dengan diri mereka sendiri, yang tertutup pada kesejahteraan mereka sendiri dengan cara yang mengarah kepada pembiusan hati, kami mohon kepada-Mu, Bapa, untuk pengampunan bagi mereka yang dengan keputusan mereka di tingkat global telah menciptakan situasi yang mengarah pada tragedi ini. Ampuni kami, Tuhan!

Ya Tuhan, terlebih-lebih hari ini biarkan kami mendengar pertanyaan-Mu : "Adam, di manakah engkau?" "Di manakah darah adikmu?" Amin.

PAUS SAKIT HATI MELIHAT IMAM ATAU SUSTER DENGAN MOBIL MODEL TERBARU

"Sakit hati saya kalau saya melihat seorang imam atau biarawati dengan model mobil terbaru,” kata Paus Fransiskus ketika berbicara dalam sebuah peristiwa internasional yang berlangsung empat hari untuk para seminaris, novis dan mereka yang berada dalam perjalanan panggilan.

Paus Fransiskus memberikan kuliah spontan tanpa persiapan untuk seminaris dan novis dari seluruh dunia yang berkumpul di Aula Paulus VI tanggal 5 Juli 2013 seperti dilaporkan oleh Radio Vatikan.

“Mobil-mobil perlu, tapi gunakan mobil yang lebih sederhana. Pikirkanlah betapa banyak anak mati kelaparan dan persembahkanlah tabungan untuk mereka,” kata Bapa Suci seraya mendorong semua orang yang mempunyai panggilan untuk menjadi otentik dan benar, dan mengingatkan mereka agar tidak pernah takut untuk mengakui dosa-dosa sendiri.

Berbicara tentang pembinaan, Paus Fransiskus mengatakan ada empat pilar dasar: pembinaan spiritual, pembinaan intelektual, hidup apostolik, saat kita harus pergi dan memberitakan Injil, dan hidup berkomunitas. "Kalian harus membangun panggilan kalian pada empat pilar ini.”

Paus juga memuji almarhum Ibu Teresa, yang peduli kepada orang sakit yang sangat melarat di Calcutta, India, dan menyatakan dia sebagai contoh yang berani. “Saya menginginkan Gereja yang lebih misionaris,” kata Paus kepada orang-orang muda itu. “Bukan Gereja yang begitu tenteram, tetapi Gereja yang indah, yang terus maju."

Sebelumnya Bapa Suci mengatakan kepada peserta kuliah itu untuk mempertahankan "kesegaran" dan "sukacita" dalam kehidupan mereka. “Tidak ada kesedihan dalam kekudusan,” kata Paus Fransiskus seraya meminta mereka untuk tidak tergoda oleh budaya yang mengagungkan nilai-nilai sementara, dan menghindari perangkap seperti smartphone (telepon pintar) terbaru dan mobil mahal agar bisa membaktikan lebih banyak sumber daya guna membantu orang miskin.

“Bukan kalian yang saya tegur,” kata Paus. Dijelaskan bahwa kita hanyalah korban budaya sementara saat ini, “karena di hari dan abad ini sulit membuat pilihan definitif.” Diungkapkan bahwa ketika dia masih muda keadaan waktu itu lebih mudah karena budaya waktu itu mendukung pilihan-pilihan definitif, baik dalam kehidupan suami-istri, dalam hidup bakti atau dalam kehidupan imamat.

Tapi hari ini, “tidaklah mudah membuat pilihan definitif. Kami adalah korban budaya sementara,” kata Bapa Suci yang kemudian menegur para seminaris dan novis karena “terlalu serius, terlalu bersedih.” Paus Fransiskus mengatakan, “ada yang tidak benar di sini.” Ditegaskan bahwa “dalam kekudusan tidak ada kesedihan,” dan bahwa klerus seperti itu tak punya “sukacita Tuhan.”

"Menjadi seorang imam atau seorang religius bukanlah terutama pilihan kami; itu adalah jawaban kami atas sebuah panggilan, panggilan cinta,” tegas Paus Fransiskus.

Paus juga menyoroti fakta bahwa ia tidak berbicara tentang sukacita dangkal. “Sensasi sesaat tidaklah benar-benar membuat kita bahagia,'' kata Paus seraya memperingatkan akan godaan untuk mencari “kesenangan duniawi dalam smartphone terbaru dan mobil tercepat.”

Hari untuk Seminaris dan Novis berakhir tanggal 6 Juli 2013 dengan Misa yang dipimpin Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus. Sebelumnya, sekitar 6000 pria dan wanita muda dari 66 negara melakukan ziarah ke makam Santo Petrus, pengakuan dosa, Adorasi Ekaristi, merefleksikan dan berdoa untuk panggilan mereka di belasan gereja dan basilika di Roma, dan Prosesi Maria di Taman Vatikan.***

Rabu, 03 Juli 2013

ROMO TOMO, PERINTIS SISTEM PERTANIAN LESTARI YANG LEBIH BERMARTABAT


Oleh Lukas Awi Tristanto

Tahun 1990, Pastor Gregorius Utomo Pr mendapat tawaran dari Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC) untuk menjadi tuan rumah seminar pertanian se-Asia. Meskipun mendapatkan berbagai tantangan, lelaki yang biasa disapa Romo Tomo itu pun menganggap kesempatan itu sebagai kairos atau waktu terbaik yang dianugerahkan Tuhan yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun sesama. Maka, ia pun menyanggupinya.

Sebagai seorang tokoh agama yang menghayati imannya secara mendalam, tentu ia sangat peka menangkap saat-saat yang tepat. Lelaki yang setia berdevosi kepada Hati Kudus Yesus itu sadar betul bahwa kemiskinan sedang melanda Indonesia waktu itu, nasib petani tak berbeda dengan kaum miskin lainnya, hanya menjadi obyek kekuasaan politik maupun kapitalis. Petani tak berdaulat atas benih, pupuk, bahkan pola atau cara pertaniannya. Alih-alih makin sejahtera, petani hidup makin sengsara.

Program intensifikasi yang dikondisikan pemerintah orde baru ternyata berdampak pada kerusakan lahan dan biodiversitas serta mengancam hidup manusia itu sendiri. Penggunaan pupuk kimia buatan membuat tanah tidak subur. Penggunaan obat pestisida membuat banyak spesies hewan punah dan beberapa spesies kebal racun. Pencemaran air, tanah dan udara makin nyata akibat penggunaan obat-obatan tersebut. Kesehatan manusia makin terancam karena mereka mengonsumsi “racun” dalam makanan hasil pertaniannya. Timbullah berbagai macam penyakit yang mengganggu hidup manusia.

Sebagai seorang imam yang juga pernah merintis Aksi Puasa Pembangunan dan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi yang sampai hari ini masih dikembangkan serta memiliki dampak positif dalam pemberdayaan ekonomi, Romo Tomo bergelut untuk membangun sistem pertanian yang lebih bermartabat.

Diawali dengan seminar pertanian se-Asia di Ganjuran itu dan dalam memperingati Hari Pangan se-Dunia 16 Oktober 1990, lahirlah Deklarasi Ganjuran yang isinya mengajak semua pihak membangun pertanian lestari dan pedesaan yang lestari.

Pertanian dan pedesaan lestari ditandai dengan, pertama, bersahabat dengan alam; kedua, murah secara ekonomis; ketiga, berakar atau sesuai kebudayaan setempat; dan keempat, berkeadilan sosial untuk siapa saja dan apa saja.

“Maka deklarasi Ganjuran ini, kalau disingkat, berarti mengajak semua saja untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan dan pelestarian keutuhan ciptaan,” kata Romo Tomo dalam program Pijar Katolik TVRI Yogyakarta, 30 Juni 2013.

Sebagai tokoh agama yang beriman secara mendalam dan menghayati imannya berdasar pada konteks hidup yang nyata, kepekaannya akan keadaan sosial masyarakat dan alam lingkungan makin nyata. Beriman di Asia atau di Indonesia tidak pernah bisa lepas dari empat aras masalah ini yakni, kemiskinan, agama-agama, budaya dan alam lingkungan.

Tiga hal pertama pernah dibicarakan dalam FABC menjadi pola tridialog agama di Asia yakni dialog dengan agama-agama, dialog dengan kemiskinan, dan dialog dengan kebudayaan. Namun, dalam perkembangannya, ternyata alam lingkungan hidup manusia memasuki kondisi yang sangat memprihatinkan.

Gerakan pertanian lestari atau organik yang dirintis oleh Romo Tomo menjadi semacam oase baru bagi solusi keadilan sosial karena martabat petani makin dihargai. Gerakan pertanian tersebut juga menjadi simpul persaudaraan antarpetani dari berbagai macam ragam iman yang dihayati. Terjadilah dialog iman dan dialog karya dalam proyek pertanian lestari. Persaudaraan sejati tercipta. Antarmanusia saling menghargai apapun latar belakangnya. Musuh bersamanya adalah kemiskinan dan ketidakadilan.

Pertanian lestari pun menjadi peluang membangun persaudaraan semesta, ketika semua petani menghormati alam dan tidak rakus mengeksploitasi tanah pertaniannya hanya untuk memproduksi komoditas pertanian. Alam benar-benar dihargai. Walau bagaimanapun juga tanah adalah sakral, sumber kehidupan para petani. Tanah, air, udara menjadi saudara-saudari bagi manusia, partner hidup manusia.

Romo Tomo sadar betul bahwa untuk setia dalam proyek tersebut sangat melelahkan dan membutuhkan stamina rohani yang tinggi. Tak jarang, para aktivis bahkan agamawan putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam menangani proyek sosial.

Demikian juga dengan proyek pertanian organik. Dugaan kristenisasi, cemoohan dan perlawanan politik menjadi sandungan. Maka, dalam hal ini kedalaman iman menjadi penting supaya stamina rohani terjaga. Antara altar dan pasar pun seimbang. Ada doa, ada karya. Ibarat ranting, ia harus menempel pada pohon supaya bisa berbuah. Maka, ia “menempel” pada Tuhan supaya bisa beramal setia.

Jerih payahnya bersama para petani tak sia-sia. Makin banyak masyarakat sadar akan pentingnya hidup organik. Makin banyak orang sadar untuk mencintai lingkungan hidup. Makin banyak orang sadar bahwa keadilan ternyata juga harus diterapkan lintas generasi. Jika kita mendapat berkat alam saat ini, kita pun harus berbagi adil dengan anak-cucu kita kelak.

Gerakan pertanian organik yang diperjuangkan Romo Tomo dan banyak orang lainnya tentu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia dilanda korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam pertanian organik yang digagas Romo Tomo terkandung pembelajaran kejujuran untuk berbuat adil baik bagi sesama manusia maupun alam lingkungan.

Pertanian organik juga mengajarkan persaudaraan apa pun latar belakang petani, karena semuanya berjuang demi ketahanan pangan. Gerakan itu sebenarnya menantang kita semua, khususnya umat yang beragama, “bagaimana bisa menyembah Tuhan yang tidak kelihatan, jika kepada sesama manusia apa pun latar belakangnya (agama, suku, sosial, politik) dan alam yang kelihatan saja kita tidak bisa bersaudara dan berbuat adil?”***