Selasa, 12 November 2013

SERIAL TATA GERAK LITURGI dalam PERAYAAN EKARISTI MEMBUAT TANDA SALIB DENGAN AIR SUCI di PINTU MASUK GEREJA

Siapa sih orang Katolik yang tidak tahu tanda Salib? Rasanya orang Katolik sedikit banyak dikenal lewat tanda salib. Ketika kita memasuki Gereja Katolik, apa yang kita cari atau kita temukan? Bejana air suci. Lantas apa yang harus kita lakukan dengan air suci itu? Tentu saja membuat tanda salib. Jutaan umat Katolik setiap minggu bahkan setiap hari membuat tanda salib dengan air suci sebelum memasuki Gereja. Sebenarnya apa sih maknanya? Jangan-jangan kita melakukan ini tanpa makna dan menganggapnya hanya sekedar ritual sebelum masuk Gereja/Rumah Tuhan. Dalam sejarah bangsa Yahudi dalam Kitab Perjanjian Lama ditemukan bahwa AIR digunakan untuk pembasuhan diri dari segala dosa dan kenajisan. Dalam Bait Allah juga ditemukan bejana besar berisi air, dimana para imam membersihkan tangan dan kakinya sebelum mempersembahkan kurban. Gereja Katolik juga mempunyai bejana-bejana berisi air suci untuk berkat karena tiga alasan: 1. Sebagai tanda sesal atas dosa, 2. Sebagai perlindungan dari yang jahat dan 3. Sebagai tanda peringatan akan pembaptisan kita. Sesal atas dosa digambarkan dengan membersihkan diri dengan air seperti dinyatakan dalam Mazmur 51: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!” (3-4, 9). (Hisop adalah tumbuh-tumbuhan yang kecil, yang batang dan daunnya dipergunakan untuk memercikkan barang cair). Kedua, air suci melindungi kita dari yang jahat. Dalam doa pemberkatan air dalam ibadat, kita berdoa: “Tuhan, Allah yang Mahakuasa, pencipta segala yang hidup, baik tubuh maupun jiwa, kami mohon sudilah memberkati air ini, yang kami gunakan dalam iman untuk mengampuni dosa-dosa kami dan melindungi kami dari segala kelemahan dan kuasa jahat. Tuhan, karena belas kasihan-Mu berilah kami air hidup, yang senantiasa memancar sebagai mata air keselamatan; bebaskan kami, jiwa dan raga, dari segala mara bahaya, dan ijinkan kami menghadap hadirat-Mu dengan hati yang murni.” Yang terakhir, air suci mengingatkan kita akan pembaptisan kita, ketika oleh karena seruan kepada Tritunggal Mahakudus dan penuangan air suci, kita dibebaskan dari dosa asal dan dari segala dosa, dicurahi rahmat pengudusan, dipersatukan dalam Gereja, dan diberi gelar putera-puteri Allah. Dengan membuat Tanda Salib dengan air suci, kita disadarkan bahwa kita dipanggil untuk memperbaharui janji-janji baptis kita, yakni menolak setan, menolak segala karya-karyanya, dan segala janji-janji kosongnya, serta mengaku syahadat iman kita. Sekali lagi, kita menyesali dosa-dosa kita, agar kita dapat memanjatkan doa-doa kita dan beribadat kepada Tuhan dengan hati murni dan penuh sesal. Seperti air dan darah yang mengalir dari Hati Yesus yang Mahakudus sementara Ia tergantung di atas kayu salib - yang melambangkan Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi Kudus yang sungguh luar biasa, tindakan mengambil air suci dan membuat Tanda Salib mengingatkan kita akan Baptis kita dalam mempersiapkan diri menyambut Ekaristi Kudus. Maka tindakan mengambil air suci sebelum memasuki gereja merupakan peringatan dan pembaruan pembaptisan kita. Juga, penggunaan air suci merupakan suatu penyegaran, yang membebaskan kita dari penindasan si jahat. St. Theresia dari Avila mengajarkan, “tidak ada suatu pun yang membuat roh-roh jahat lari tunggang langgang – tanpa memalingkan muka – kecuali air suci.” (St. Theresia Avila, The Book of Her Life). Jadi jika disimpulkan, pengambilan air suci di pintu gereja adalah untuk mengingatkan kita akan makna Pembaptisan kita (yaitu pertobatan, pengudusan, kehidupan baru di dalam Kristus dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, dan partisipasi kita sebagai anak- anak angkat Allah di dalam misi Kristus) dan pengusiran roh-roh jahat. PERLUKAH KITA MEMBUAT TANDA SALIB LAGI KETIKA KELUAR GEREJA? Karena tujuannya ialah penyucian untuk memasuki tempat kudus, tindakan itu seyogyanya dilakukan HANYA pada saat memasuki Gereja, dan tidak perlu dilakukan pada saat meninggalkan Gereja. Kebiasaan demikian itu dilakukan pada Abad Pertengahan. Namun demikian, banyak umat terbiasa melakukannya baik pada saat datang maupun pada saat pulang. Karena hal ini bukanlah suatu tindakan yang salah atau berdosa, maka tetap boleh saja dilakukan. Pembuatan tanda salib dengan air suci pada saat pulang (tentu bukan lagi artinya sebagai penyucian sebelum memasuki tempat kudus) bisa diartikan sebagai penyucian diri kita untuk melaksanakan tugas perutusan kita di dunia. Penyucian yang demikian mirip dengan makna pemercikan dengan air suci. Jadi, setelah tau maknanya, berhentilah membuat tanda salib dengan air suci secara asal-asalan atau sambil lalu.. Yuk kita lakukan dengan pemahaman dan penghayatan yang benar.. Tuhan memberkati semua sobat GK!

Sumber: @[243861022315263:274:Katolisitas.org], yesaya.indocell.net, HIDUP Diolah kembali oleh Administrator Page GK, Deo Gratias

Selasa, 05 November 2013

SEKUBAN CAMP 2013

Komplek Rindam VI Mulawarman, 3-5 November 2013, SEKAMI (Serikat Kepausan Anak-anak dan Remaja Misioner) Keuskupan Banjarmasin yang terdiri dari 9 Paroki yaitu Paroki Katedral, Paroki Kelayan, Paroki Veteran, Paroki Pleihari, Paroki Banjarbaru, Paroki Tanjung, Paroki Sungai Danau, Paroki Batulicin dan Paroki Kotabaru  tergabung dalam SEKUBAN CAMP 2013 (Camping Sekami Keuskupan Banjarmasin) tahun 2013 dengan mengusung tema " Aku bangga menjadi anak Sekami Keuskupan Banjarmasin yang beriman dan siap diutus". Komplek Rindam dipilih menjadi tempat ajang ini karena lokasinya mendukung untuk menampung sejumlah anak yang cukup banyak dan stuasinya yang jauh dari bisingnya kendaraan darat, walau sedikit suara ketika mulai ada aktifitas udara dari Bandara Syamsudin Noor yang tepat berada di depan Rindam ini karena mulai Pukul 05.00 Wita sudah mulai ada hilir mudik pesawat udara baik yang landing maupun yang take off.
Kegiatan yang di selenggarakan Dirdios Sekami Keuskupan Banjarmasin ini melibatkan lebih dari 350 anak dari berbagai sudut di wilayah Pelayanan Keuskupan Banjarmasin. Selama tiga hari dua malam, anak-anak Sekami dibekali dengan berbagai hal diharapkan bisa memacu anak-anak lebih banyak terlibat dalam kehidupan imannya.
Materi-materi yang disampaikan mengugah anak-anak Sekami semakin hari mengenal jati dirinya dan semakin mengakrabkan mereka satu sama lain. Terlebih kegiatan Out Bond yang sangat memacu kelompok atau regu untuk semakin solid dan bersahabat.
Harapan peserta kegiatan ini mempunyai kelanjutan di waktu yang akan datang.

Selasa, 01 Oktober 2013

PERINGATAN PARA MALAIKAT PELINDUNG

Rabu 2 Oktober 2013 - “Malaikat mereka selalu memandang wajah Bapa di sorga.”
Peringatan Para Malaikat Pelindung
Bacaan Injil: Mat 18:1-5, 10
Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.”
Renungan: Mengapa Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk “tidak menganggap rendah anak-anak kecil”? Tuhan berdiam dalam diri “anak kecil” dan merangkul mereka dengan kasih sayang. “Anak kecil” di sini bisa berarti anak-anak ataupun setiap orang yang rendah hati menerima kehendak Tuhan dalam dirinya. Dalam orang-orang seperti inilah malaikat-Nya melindungi mereka sebagai penjaga. “Sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.” (Yesaya 7:15). Para malaikat-Nya adalah “roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan” (Ibrani 1:14). Alkitab penuh dengan contoh bagaimana para malaikat melayani sebagai utusan dan pelindung. Ketika Petrus dirantai dalam penjara dan dijaga ketat, seorang malaikat membangunkannya di tengah malam, rantai yang mengikatnya dibuka, dan ia dibawanya dengan aman keluar dari penjara, beberapa dilewatinya begitu saja tanpa ketahuan dan lewat melalui gerbang yang terkunci. Ketika Petrus menyadari bahwa ia tidak sedang bermimpi, ia berseru: “Sekarang saya yakin bahwa Tuhan telah menyuruh malaikat-Nya dan menyelamatkan aku” (Kisah Para Rasul 12:11). Ketika Daniel dilemparkan ke dalam gua singa lapar, malaikat juga melindunginya dari bahaya (Daniel 6:22).
Yohanes Krisostomus (347-407), seorang bapa gereja dan pengkhotbah terkenal, membandingkan malaikat pelindung dengan pasukan penjaga di kota-kota dekat perbatasan untuk mempertahankannya dari musuh. Basilius Agung (329-379) mengatakan, “Di samping setiap orang beriman berdirilah malaikat sebagai pelindung dan gembala yang memimpin dia dalam hidup.” Malaikat pun melayani Yesus setelah pencobaan di padang gurun dan selama sakratul maut-Nya di Taman Getsemani (Lukas 22:43). Para malaikat juga akan hadir pada saat kedatangan Kristus di akhir zaman, yang akan diumumkan oleh mereka, dan mendampingi Kristus saat penghakiman-Nya (Matius 25:31). Para malaikat menunjukkan kepada kita bahwa alam semesta yang telah diciptakan oleh Tuhan ini bukan hanya materialistik saja. Para malaikat yang tidak setia kepada Tuhan (Yudas 6, 2 Petrus 2:4; Wahyu 12:9), digambarkan dalam Alkitab sebagai roh-roh jahat atau iblis (Markus 05:13, Matius 25:41). Mereka selalu mencari celah untuk kehancuran diri kita (lihat 1 Petrus 5:8). Jika iblis tidak bisa membujuk kita untuk menyangkal iman dan kesetiaan kepada Kristus, mereka akan mencoba untuk mengalihkan kita dari melakukan kehendak Allah dengan mengarahkan kita kepada hal-hal yang nampaknya baik namun malah membuat kita acuh tak acuh terhadap Allah. Tuhan telah memberikan kita bantuan malaikat pelindung dan Dia memberi kita senjata rohani, perisai iman dan palu kebenaran (lihat Efesus 6:1-11), untuk melawan iblis dan semua tipu muslihatnya. Melalui karunia Roh Kudus, kita juga bergabung dengan paduan suara malaikat di surga dalam menyanyikan puji-pujian Tuhan. Kita perlu selalu bersyukur kepada Tuhan atas bimbingan dan perlindungan-Nya melalui para malaikat pelindung. Sudahkah Anda melakukannya?
“Tuhan Yesus, Engkaulah perlindungan dan kekuatanku. Semoga aku selalu ingat akan tangan-Mu yang menolong  dan bantuan dari para malaikat dalam melindungi aku dari semua yang jahat. Berikan aku kehendak yang kuat untuk menolak apapun yang jahat dan selalu memilih yang baik.”

Senin, 30 September 2013

Mei dan Oktober sebagai bulan Maria


Secara tradisi, Gereja Katolik mendedikasikan bulan- bulan tertentu untuk devosi tertentu. Bulan Mei yang sering dikaitkan dengan permulaan kehidupan, karena pada bulan Mei di negara- negara empat musim mengalami musim semi atau musim kembang. Maka bulan ini dihubungkan dengan Bunda Maria, yang menjadi Hawa yang Baru. Hawa sendiri artinya adalah ibu dari semua yang hidup, “mother of all the living” (Kej 3:20). Devosi mengkhususkan bulan Mei sebagai bulan Maria diperkenalkan sejak akhir abad ke 13. Namun praktek ini baru menjadi populer di kalangan para Jesuit di Roma pada sekitar tahun 1700-an, dan baru kemudian menyebar ke seluruh Gereja.
Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para serdadu Napoleon, dan dipenjara. Di dalam penjara, Paus memohon dukungan doa Bunda Maria, agar ia dapat dibebaskan dari penjara. Paus berjanji bahwa jika ia dibebaskan, maka ia akan mendedikasikan perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, Bapa Paus dibebaskan, dan ia dapat kembali ke Roma. Tahun berikutnya ia mengumumkan hari perayaan Bunda Maria, Penolong umat Kristen. Demikianlah devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal, dan Ketika Paus Pius IX mengumumkan dogma “Immaculate Conception/ Bunda Maria yang dikandung tidak bernoda” pada tahun 1854, devosi bulan Mei sebagai bulan Maria telah dikenal oleh Gereja universal.
Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, the Month of Mary mengatakan, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati,” dan bulan Mei adalah kesempatan untuk “penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan.” (Paus Paulus VI, the Month of May, 1)
Sedangkan penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, berkaitan dengan pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen, dan terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria. Demikian jugaa, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto. Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Demikianlah sekilas mengenai mengapa bulan Mei dan Oktober dikhususkan sebagai bulan Maria. Bunda Maria memang terbukti telah menyertai Gereja dan mendoakan kita semua, para murid Kristus, yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus menjadi anak- anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman.
www.katolisitas.org

Selasa, 30 Juli 2013

PEMBEKALAN PEMANDU BULAN KITAB SUCI NASIONAL TAHUN 2013

Pastoran Damai Bagimu, 30 Juli 2013. Sudah menjadi agenda tahunan dari Komisi Kitab Suci Keuskupan Banjarmasin, bahwa menjelang Bulan Kitab Suci Nasional ada pembekalan para Pemandu. Saat ini Pembekalan Pemandu untuk tingkat Paroki-paroki Dekenat Timur di pusatkan di Paroki St. Vincencius A Paulo Batulicin, Tanah Bumbu. Setalah pembekalan tingkat Dekenat, di tingkat Paroki dilaksanakan sosialisasi dengan menghadirkan para pemandu Komunitas dan Stasi serta para Ketua Komunitas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih melibatkan banyak komponen serta mengkonsultasikan hal-hal yang berkaitan dengan lomba-lomba menyambut 75 th Keuskupan Banjarmasin. Ketua DPP, Yordanis Andria memberikan pengantar berkenaan dengan kegiatan pembekalan dan Sosialisasi lomba ini. Ini kelanjutan dari team yang hari minggu lalu (28 Juli *red) mengikuti pembekalan di Tingkat Dekenat Timur, katanya. Yordan menambahkan, kita juga akan menyepakati hal-hal yang terkait undangan lomba di tingkat Dekenat dan juga Keuskupan. Diantaranya Lomba CCA (Cerdas Cermat Alkitab), Lomba Dramatisasi Kitab Suci, Lomba Koor (Paduan Suara), Lomba Olah Raga ( Bulu angkis dan Bola Volly).
Yordan mengatakan lomba-lomba ini memerlukan keterlibatan umat sekalian. Oleh sebab itu perlu ada kesepakatan untuk menindaklanjutinya. Dalam pertemuan itu juga mengkomunikasikan undangan Komisi Liturgi yang telah menetapkan pertemuan dengan Paul Widiyawan, Romo Prier dan team PML Yogyakarta yang akan memberikan materi tentang Liturgi, Organis dan Musik Liturgi.
Disepakati bahwa Paroki St. Yusup Kotabaru mengikuti kegiatan tingkat Dekenat yaitu lomba CCA dan Dramatisasi Kitab Suci, yang kalau menang maka mewakili Dekenat Timur untuk berlaga di tingkat Keuskupan. Mengikuti lomba Koor, walau sebelumnya sempat disepakati tidak ikut namun mengingat moment ini maka dicoba dulu berlatih, bila nanti hasil baik maka siap bertanding. Mengikuti lomba olah raga yaitu Bulu Tangkis dan Bola Volly. Person-person sudah ditentukan, dan diharapkan ada respon positif dari umat untuk terlibat.

Minggu, 14 Juli 2013

PELANTIKAN DEWAN PASTORAL PAROKI ST. YUSUP KOTABARU

Kotabaru, 15 Juli 2013. Gereja St. Yusup Kotabaru, Pulau Laut, Keuskupan Banjarmasin, Kalimantan Selatan merupakan paroki ujung timur utara dari Keukupan Banjarmasin, dan berada di sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Kalimantan. Paroki ini awalnya menjadi satu dengan Paroki Katedral Banjarmasin. Dalam perkembangannya mengalami pertambahan umat yang cukup signifikan, yang akhirnya menjadi paroki sendiri. Bahkan saat ini telah melahirkan 2 (dua) paroki yaitu Paroki St. Vincentius A Paulo Batulicin dan Stella Maris Sungai Danau. Ini adalah sebuah perkembangan yang menggembirakan, walau banyak problematika dalam perjalanannya. Dalam hal ini peran Pengurus Gereja (DPP: Dewan Pastoral Paroki*red) pastilah besar. Terlebih guna memberikan pelayanan dan perkembangan baik Kualitas maupun kuantitas.
DPP St. Yusup Kotabaru periode 2009-2012 sebenarnya sudah berakhir masa bhaktinya pada bulan Oktober tahun lalu, karena sesuatu hal maka pembentukan pengurus baru mundur hampir 1 tahun. Hal ini disebabkan banyaknya kegiatan yang bersamaan di Bulan-bulan akhir 2012. Mulai dari Natal, tahun baru, Ulang tahun paroki dan disambung dengan masa prapaskah dan Paskah.
Terbentuknya DPP St. Yusup periode 2013-2016 melalui proses pemilihan secara langsung. Berlangsungnya proses pemilihan telah menghasilkan pribadi-pribadi yang menurut umat mempunyai kepedulian dan perhatian dengan kehidupan umat. Seperti dalam tulisan yang terdahulu*red, pengurus terpilih telah diberikan tanggungjawab dan porsi yang cukup dalam kepengurusan. Dari 6 kandidat calon pengurus, akhirnya terpilih 1 orang yang mendapatkan perolehan suara terbanyak yaitu 47 suara adalah Yordanis Andria. Sehingga kandidat terpilih ini yang berhak menjadi partner Pastor dalam melayani dan memperhatikan dinamika kehidupan umat secara khusus.
Dengan terpilihnya pengurus DPP dan perangkatnya, maka perlu ada kesiapan dalam menjalankan amanat umat yang notabene tanpa embel-embel apapun. Oleh sebab itu diadakan pembekalan iman dan kesiapan hati bagi calon pelayan umat ini.
Pelantikan DPP yang baru diagendakan oleh Pastor Silvasius Jehaman, CP pada tanggal 14 Juli 2013, karena agenda Bapa Uskup yang cukup padat menjelang Sinode Keuskupan Banjarmasin. Sebelum diadakan pelantikan DPP bertemu muka dan ramah tamah dengan Mgr. Petrus Boddeng Timang (Uskup Keuskupan Banjarmasin). Dalam jumpa Pastoral tersebut Mgr. Timang mengemukakan bahwa kita hidup ditengah-tengah umat beragama lain yang secara kuantitas lebih besar dari kita. Bukan berarti kita ini kaum minoritas. Kita adalah umat yang notabene kuantitas kecil tapi kita ini diibaratkan emas dan intan, yang walau dalam lumpur sekalipun tetap menampakkan kilau yang luar biasa. Kita jangan lagi merasa bagian dari minoritas, sebab sebaiknya kita menunjukkan kualitas ditengah-tengah umat baik intern maupun ekstern.
Berkaitan dengan pertanyaan umat tentang lika-liku kehidupan umat, Mgr. menyatakan bahwa pendidikan yang utama dan pertama harus mulai dari tengah-tengah keluarga. Sehingga apabila terjadi sesuatu sungguh teguh dan kuat dalam menghadapinya. Seperti ketika anak-anak mulai memilih teman hidupnya.
Dalam Ekaristi kudus dan Pelantikan DPP yang baru periode 2013-2016, Mgr. Timang mempertegas tugas umat beriman dalam kehidupan bersama. Hal ini terkait dengan tokoh utama dalam Kitab Suci yaitu orang Samaria yang melaksanakan tugas secara paripurna sebagai seorang saudara. Saudara bukan hanya terkait dengan keterikatan daging, suku, agama, atau apapunlatar belakang kehidupannya. Sikap orang Samaria adalah sikap pribadi manusia yang mempunyai kepedulian sosial yang paripurna.
Sebagai pengurus DPP, oleh Mgr. Timang disinggung harus bisa memberikan perhatian tuntas....tas.....tas....tas..... kepada sesama.

Kamis, 11 Juli 2013

SAATNYA INTOLERANSI DIHENTIKAN DAN PANCASILA TETAP JADI PEREKAT KEHIDUPAN BANGSA

Oleh Pastor Benny Susetyo Pr 

Pada periode Januari-Juni 2013, SETARA Institute mencatat 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan, yang menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu, Jawa Timur (18)dan DKI Jakarta (10) peristiwa.

Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 8 tindakan diskriminasi. Sementara 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran (by omission).

Termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, kerangka legal untuk mempertanggung-jawabkannya adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara sebagai konsekuensi ratifikasi kovenan dan konvensi internasional hak asasi manusia.

Namun demikian, penyikapan dalam kerangka politik dapat saja dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyoal kegagalan negara menjalankan mandat Konstitusi RI yang memerintahkan negara menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.

Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, disusul unsur pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan (20) tindakan, serta Satpol PP (14) tindakan. Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 8 tindakan. Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 90 tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (19) tindakan, (9) tindakan berbagai motif pengancaman, dan (6) tindakan diskriminasi.

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku,’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.

Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.

Dapat dilihat di sini, negara gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan, dan membiarkan warga atau organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.

Di sini kita melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan yang menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.

Misalnya dalam konteks rumah ibadah. Itu bukanlah soal bagaimana rumah ibadah diserbu bahkan dibakar oleh sekelompok orang. Itu ekses saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah menjadi mediator, perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah.

SKB yang menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian, pelaksanaannya melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain. Bukanlah umat beragama yang serta merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua.

Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Jika demikian, lalu Pancasila untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu, jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktikkannya dengan sepenuh hati?

Membuka Ruang Dialog

Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat, seperti kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?

Pemerintah berkewajiban menjaga, melestarikan dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat, terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap ”lain”. Pemerintah berkewajiban memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.

Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil? Pemerintah harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan seperti ini.

Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi pertiwi ini. Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama.

Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan dan kesukuan. Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya. Sampai di sini, tak perlu lagi banyak dikatakan kecuali, kita merindukan pemimpin yang berani bertindak, pemimpin yang selaras antara ucapan dan tindakan.***

(Komentar ini ditulis oleh Pastor Antonius Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, setelah membaca Mid Term Report, Januari-Juni 2013 dengan judul “Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia” yang dikeluarkan oleh SETARA Institute, 8 Juli 2013).

Senin, 08 Juli 2013

PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 8 JULI 2013 : GLOBALISASI KETIDAKPEDULIAN

Dalam homilinya pada Misa 8 Juli 2013 yang dirayakan dengan penduduk Lampedusa, Pulau Sisilia, dan imigran yang mencari suaka di sana, Paus Fransiskus berbicara menentang "globalisasi ketidakpedulian" yang mengarah kepada tragedi seperti kematian begitu banyak imigran yang mencari kehidupan yang lebih baik.

Berikut adalah homili lengkap Bapa Suci dalam Misa tersebut.

Para imigran yang meninggal di laut, dari perahu itu, bukannya menjadi jalan harapan tetapi jalan kematian. Inilah berita utama di koran! Ketika, beberapa minggu yang lalu, saya mendengar kabar - yang sayangnya telah terulang berkali-kali - ingatan tersebut selalu kembali sebagai duri dalam hati yang membawa penderitaan. Dan kemudian saya merasa bahwa saya harus datang ke sini hari ini untuk berdoa, untuk membuat sikap kedekatan, tetapi juga untuk membangkitkan kembali hati nurani kita sehingga apa yang terjadi tidak akan terulang. Tolong, jangan terulang! Tetapi pertama-tama saya ingin mengucapkan kata terima kasih yang tulus dan dorongan kepada Anda, penduduk Lampedusa dan Linosa, kepada lembaga-lembaga, kepada para relawan dan pasukan keamanan yang telah menunjukkan dan terus menunjukkan perhatian kepada orang-orang pada perjalanan mereka menuju sesuatu yang lebih baik. Anda adalah kelompok kecil, tetapi Anda memberikan suatu teladan solidaritas! Terima kasih! Terima kasih juga kepada Uskup Agung Francesco Montenegro atas bantuannya dan karyanya, dan atas kedekatan pastoralnya. Saya dengan hangat menyambut Walikota, Nyonya Giusy Nicolini. Terima kasih banyak untuk semua yang telah Anda lakukan, dan untuk semua yang Anda lakukan. Saya memberikan suatu ingatan juga, untuk para imigran Muslim yang terkasih yang sedang memulai puasa Ramadhan, dengan keinginan terbaik bagi buah-buah rohani yang melimpah. Gereja dekat dengan Anda dalam mencari kehidupan yang lebih bermartabat bagi diri Anda dan bagi keluarga Anda. Saya mengatakan kepada Anda "O' scia'!" [sapaan ramah dalam dialek setempat].

Pagi ini, dalam terang Sabda Allah yang telah kita dengar, saya ingin mengatakan beberapa kata yang, terutama, membangkitkan hati nurani semua orang, mendorong kita untuk merenungkan dan mengubah sikap tertentu dalam cara nyata.

"Adam, di manakah engkau?" (Kej 3:9). Inilah pertanyaan pertama yang diajukan Allah kepada manusia setelah dosa. "Di manakah engkau Adam?" Adam bingung dan telah kehilangan tempatnya dalam penciptaan karena ia berpikir untuk menjadi kuat, untuk menguasai segalanya, menjadi Allah. Dan keselarasan rusak, manusia keliru - dan hal ini terulang bahkan dalam hubungan dengan sesamanya, yang bukan lagi seorang saudara yang dikasihi, tetapi hanya seseorang yang mengganggu hidupku, kesejahteraanku. Dan Allah menempatkan pertanyaan kedua: "Kain, di manakah adikmu?" (Kej 4:9). Impian menjadi berkuasa, menjadi besar seperti Allah, bahkan menjadi Allah, menyebabkan rantai kesalahan yaitu rantai kematian, menyebabkan penumpahan darah sang saudara!

Kedua pertanyaan itu bergetar bahkan hari ini, dengan segala kekuatannya! Begitu banyak dari kita, bahkan termasuk saya sendiri, yang bingung, kita tidak lagi memperhatikan dunia yang di dalamnya kita tinggal, kita tidak peduli, kita tidak melindungi apa yang telah Allah ciptakan untuk semua orang, dan kita tidak mampu peduli satu sama lain. Dan ketika kebingungan ini memangku dimensi seluruh dunia, kita tiba pada tragedi seperti yang telah kita lihat.

"Di manakah adikmu?". Suara darahnya berteriak bahkan kepada-Ku, Allah berfirman. Ini bukan pertanyaan yang ditujukan kepada orang lain: ini adalah pertanyaan yang ditujukan kepada saya, kepada Anda, kepada kita masing-masing. Saudara dan saudari kita ini berusaha meninggalkan situasi sulit untuk menemukan sedikit ketenangan dan kedamaian, mereka mencari tempat yang lebih baik bagi diri mereka dan bagi keluarga mereka - tetapi mereka menemukan kematian. Berapa kali bagi mereka yang mencari ini semua tidak menemukan pengertian, tidak menemukan penyambutan, tidak menemukan solidaritas! Dan suara mereka bangkit bahkan kepada Allah! Dan sekali lagi kepada Anda, penduduk Lampedusa, berterima kasih atas solidaritas Anda! Saya baru saja mendengarkan salah seorang dari saudara-saudara ini. Sebelum tiba di sini, ia telah melewati tangan para pedagang manusia, mereka yang mengeksploitasi kemiskinan orang lain; orang-orang ini yang baginya kemiskinan orang lain merupakan sumber pendapatan. Betapa mereka telah menderita! Dan beberapa orang tidak mampu datang!

"Di manakah adikmu?" Siapa yang bertanggung jawab atas darah ini? Dalam sastra Spanyol ada suatu sandiwara karya Lope de Vega yang menceritakan bagaimana penduduk kota Fuente Ovejuna membunuh Gubernur karena ia seorang yang bertindak sewenang-wenang, dan melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tahu siapa yang telah melaksanakan eksekusi. Dan ketika hakim raja bertanya "Siapa yang membunuh Gubernur?" Mereka semua menjawab, "Fuente Ovejuna, Pak". Semua dan tidak ada! Bahkan saat ini pertanyaan ini datang dengan paksaan: Siapa yang bertanggung jawab atas darah saudara dan saudari ini? Tidak ada! Kita semua menanggapi dengan cara ini: bukan aku, tidak ada hubungannya denganku, ada orang lain, tentu bukan aku. Tetapi Allah menanyai kita masing-masing: "Di manakah darah adikmu yang berteriak kepada-Ku?". Saat ini tidak ada seorang pun di dunia merasa bertanggung jawab untuk ini; kita telah kehilangan rasa tanggung jawab persaudaraan; kita telah jatuh ke dalam sikap imam dan pelayan altar yang munafik yang diceritakan Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik: kita memandang saudara yang hampir mati di tepi jalan, mungkin kita memikirkan "orang yang malang", dan kita melanjutkan perjalanan kita, itu bukan urusan kita; dan kita merasa baik-baik saja dengan ini. Kita merasa damai dengan ini, kita merasa baik-baik saja! Budaya kesejahteraan, yang membuat kita berpikir tentang diri kita, yang membuat kita tidak peka terhadap teriakan orang lain, yang membuat kita hidup dalam gelembung sabun, yang indah tetapi hampa, khayalan kesia-siaan, khayalan fana, yang membawa ketidakpedulian terhadap orang lain, yang bahkan membawa globalisasi ketidakpedulian. Dalam dunia globalisasi ini kita telah jatuh ke dalam globalisasi ketidakpedulian. Kita terbiasa dengan penderitaan orang lain, itu bukan keprihatinan kita, itu bukan urusan kita.

Sosok tak bernama dari Manzoni kembali. Globalisasi ketidakpedulian membuat kita semua "tak bernama", pemimpin tanpa nama dan tanpa wajah.

"Adam, di manakah engkau?" "Di manakah adikmu?". Inilah dua pertanyaan yang Allah letakkan pada awal kisah umat manusia, dan yang juga Ia tujukan bagi pria dan wanita di zaman kita, bahkan bagi kita. Tetapi saya ingin mengajukan di hadapan kita pertanyaan ketiga: "Siapakah di antara kita telah menangis karena hal-hal ini, dan hal-hal seperti ini?" Siapakah yang menangisi kematian saudara dan saudari ini? Siapa yang menangisi orang-orang yang berada di perahu? Bagi ibu-ibu muda yang membawa bayi mereka? Bagi orang-orang yang menginginkan sesuatu untuk menghidupi keluarga mereka? Kita adalah suatu masyarakat yang telah melupakan pengalaman menangis, pengalaman "menderita": globalisasi ketidakpedulian telah mengambil dari kita kemampuan untuk menangis! Dalam Injil kita telah mendengar teriakan, permohonan, ratapan besar: "Rahel menangisi anak-anaknya. . . karena mereka tidak ada lagi". Herodes menabur kematian untuk mempertahankan kesejahteraan, gelembung sabun miliknya sendiri. Dan ini terus terulang. Marilah kita mohon kepada Tuhan untuk menangisi [apapun sikap] Herodes tinggal dalam pendengaran kita, marilah kita mohon kepada Tuhan rahmat untuk menangisi ketidakpedulian kita, menangisi kekejaman di dunia, dalam diri kita, dan bahkan dalam mereka yang secara anonim membuat keputusan sosial-ekonomi yang membuka jalan untuk tragedi seperti ini. "Siapa telah menangis?" Siapa dalam dunia saat ini telah menangis?

Ya Tuhan, dalam liturgi ini, suatu Liturgi pertobatan, kami mohon pengampunan atas ketidakpedulian terhadap begitu banyak saudara dan saudari, kami mohon pengampunan bagi mereka yang senang dengan diri mereka sendiri, yang tertutup pada kesejahteraan mereka sendiri dengan cara yang mengarah kepada pembiusan hati, kami mohon kepada-Mu, Bapa, untuk pengampunan bagi mereka yang dengan keputusan mereka di tingkat global telah menciptakan situasi yang mengarah pada tragedi ini. Ampuni kami, Tuhan!

Ya Tuhan, terlebih-lebih hari ini biarkan kami mendengar pertanyaan-Mu : "Adam, di manakah engkau?" "Di manakah darah adikmu?" Amin.

PAUS SAKIT HATI MELIHAT IMAM ATAU SUSTER DENGAN MOBIL MODEL TERBARU

"Sakit hati saya kalau saya melihat seorang imam atau biarawati dengan model mobil terbaru,” kata Paus Fransiskus ketika berbicara dalam sebuah peristiwa internasional yang berlangsung empat hari untuk para seminaris, novis dan mereka yang berada dalam perjalanan panggilan.

Paus Fransiskus memberikan kuliah spontan tanpa persiapan untuk seminaris dan novis dari seluruh dunia yang berkumpul di Aula Paulus VI tanggal 5 Juli 2013 seperti dilaporkan oleh Radio Vatikan.

“Mobil-mobil perlu, tapi gunakan mobil yang lebih sederhana. Pikirkanlah betapa banyak anak mati kelaparan dan persembahkanlah tabungan untuk mereka,” kata Bapa Suci seraya mendorong semua orang yang mempunyai panggilan untuk menjadi otentik dan benar, dan mengingatkan mereka agar tidak pernah takut untuk mengakui dosa-dosa sendiri.

Berbicara tentang pembinaan, Paus Fransiskus mengatakan ada empat pilar dasar: pembinaan spiritual, pembinaan intelektual, hidup apostolik, saat kita harus pergi dan memberitakan Injil, dan hidup berkomunitas. "Kalian harus membangun panggilan kalian pada empat pilar ini.”

Paus juga memuji almarhum Ibu Teresa, yang peduli kepada orang sakit yang sangat melarat di Calcutta, India, dan menyatakan dia sebagai contoh yang berani. “Saya menginginkan Gereja yang lebih misionaris,” kata Paus kepada orang-orang muda itu. “Bukan Gereja yang begitu tenteram, tetapi Gereja yang indah, yang terus maju."

Sebelumnya Bapa Suci mengatakan kepada peserta kuliah itu untuk mempertahankan "kesegaran" dan "sukacita" dalam kehidupan mereka. “Tidak ada kesedihan dalam kekudusan,” kata Paus Fransiskus seraya meminta mereka untuk tidak tergoda oleh budaya yang mengagungkan nilai-nilai sementara, dan menghindari perangkap seperti smartphone (telepon pintar) terbaru dan mobil mahal agar bisa membaktikan lebih banyak sumber daya guna membantu orang miskin.

“Bukan kalian yang saya tegur,” kata Paus. Dijelaskan bahwa kita hanyalah korban budaya sementara saat ini, “karena di hari dan abad ini sulit membuat pilihan definitif.” Diungkapkan bahwa ketika dia masih muda keadaan waktu itu lebih mudah karena budaya waktu itu mendukung pilihan-pilihan definitif, baik dalam kehidupan suami-istri, dalam hidup bakti atau dalam kehidupan imamat.

Tapi hari ini, “tidaklah mudah membuat pilihan definitif. Kami adalah korban budaya sementara,” kata Bapa Suci yang kemudian menegur para seminaris dan novis karena “terlalu serius, terlalu bersedih.” Paus Fransiskus mengatakan, “ada yang tidak benar di sini.” Ditegaskan bahwa “dalam kekudusan tidak ada kesedihan,” dan bahwa klerus seperti itu tak punya “sukacita Tuhan.”

"Menjadi seorang imam atau seorang religius bukanlah terutama pilihan kami; itu adalah jawaban kami atas sebuah panggilan, panggilan cinta,” tegas Paus Fransiskus.

Paus juga menyoroti fakta bahwa ia tidak berbicara tentang sukacita dangkal. “Sensasi sesaat tidaklah benar-benar membuat kita bahagia,'' kata Paus seraya memperingatkan akan godaan untuk mencari “kesenangan duniawi dalam smartphone terbaru dan mobil tercepat.”

Hari untuk Seminaris dan Novis berakhir tanggal 6 Juli 2013 dengan Misa yang dipimpin Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus. Sebelumnya, sekitar 6000 pria dan wanita muda dari 66 negara melakukan ziarah ke makam Santo Petrus, pengakuan dosa, Adorasi Ekaristi, merefleksikan dan berdoa untuk panggilan mereka di belasan gereja dan basilika di Roma, dan Prosesi Maria di Taman Vatikan.***

Rabu, 03 Juli 2013

ROMO TOMO, PERINTIS SISTEM PERTANIAN LESTARI YANG LEBIH BERMARTABAT


Oleh Lukas Awi Tristanto

Tahun 1990, Pastor Gregorius Utomo Pr mendapat tawaran dari Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC) untuk menjadi tuan rumah seminar pertanian se-Asia. Meskipun mendapatkan berbagai tantangan, lelaki yang biasa disapa Romo Tomo itu pun menganggap kesempatan itu sebagai kairos atau waktu terbaik yang dianugerahkan Tuhan yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun sesama. Maka, ia pun menyanggupinya.

Sebagai seorang tokoh agama yang menghayati imannya secara mendalam, tentu ia sangat peka menangkap saat-saat yang tepat. Lelaki yang setia berdevosi kepada Hati Kudus Yesus itu sadar betul bahwa kemiskinan sedang melanda Indonesia waktu itu, nasib petani tak berbeda dengan kaum miskin lainnya, hanya menjadi obyek kekuasaan politik maupun kapitalis. Petani tak berdaulat atas benih, pupuk, bahkan pola atau cara pertaniannya. Alih-alih makin sejahtera, petani hidup makin sengsara.

Program intensifikasi yang dikondisikan pemerintah orde baru ternyata berdampak pada kerusakan lahan dan biodiversitas serta mengancam hidup manusia itu sendiri. Penggunaan pupuk kimia buatan membuat tanah tidak subur. Penggunaan obat pestisida membuat banyak spesies hewan punah dan beberapa spesies kebal racun. Pencemaran air, tanah dan udara makin nyata akibat penggunaan obat-obatan tersebut. Kesehatan manusia makin terancam karena mereka mengonsumsi “racun” dalam makanan hasil pertaniannya. Timbullah berbagai macam penyakit yang mengganggu hidup manusia.

Sebagai seorang imam yang juga pernah merintis Aksi Puasa Pembangunan dan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi yang sampai hari ini masih dikembangkan serta memiliki dampak positif dalam pemberdayaan ekonomi, Romo Tomo bergelut untuk membangun sistem pertanian yang lebih bermartabat.

Diawali dengan seminar pertanian se-Asia di Ganjuran itu dan dalam memperingati Hari Pangan se-Dunia 16 Oktober 1990, lahirlah Deklarasi Ganjuran yang isinya mengajak semua pihak membangun pertanian lestari dan pedesaan yang lestari.

Pertanian dan pedesaan lestari ditandai dengan, pertama, bersahabat dengan alam; kedua, murah secara ekonomis; ketiga, berakar atau sesuai kebudayaan setempat; dan keempat, berkeadilan sosial untuk siapa saja dan apa saja.

“Maka deklarasi Ganjuran ini, kalau disingkat, berarti mengajak semua saja untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi keadilan dan pelestarian keutuhan ciptaan,” kata Romo Tomo dalam program Pijar Katolik TVRI Yogyakarta, 30 Juni 2013.

Sebagai tokoh agama yang beriman secara mendalam dan menghayati imannya berdasar pada konteks hidup yang nyata, kepekaannya akan keadaan sosial masyarakat dan alam lingkungan makin nyata. Beriman di Asia atau di Indonesia tidak pernah bisa lepas dari empat aras masalah ini yakni, kemiskinan, agama-agama, budaya dan alam lingkungan.

Tiga hal pertama pernah dibicarakan dalam FABC menjadi pola tridialog agama di Asia yakni dialog dengan agama-agama, dialog dengan kemiskinan, dan dialog dengan kebudayaan. Namun, dalam perkembangannya, ternyata alam lingkungan hidup manusia memasuki kondisi yang sangat memprihatinkan.

Gerakan pertanian lestari atau organik yang dirintis oleh Romo Tomo menjadi semacam oase baru bagi solusi keadilan sosial karena martabat petani makin dihargai. Gerakan pertanian tersebut juga menjadi simpul persaudaraan antarpetani dari berbagai macam ragam iman yang dihayati. Terjadilah dialog iman dan dialog karya dalam proyek pertanian lestari. Persaudaraan sejati tercipta. Antarmanusia saling menghargai apapun latar belakangnya. Musuh bersamanya adalah kemiskinan dan ketidakadilan.

Pertanian lestari pun menjadi peluang membangun persaudaraan semesta, ketika semua petani menghormati alam dan tidak rakus mengeksploitasi tanah pertaniannya hanya untuk memproduksi komoditas pertanian. Alam benar-benar dihargai. Walau bagaimanapun juga tanah adalah sakral, sumber kehidupan para petani. Tanah, air, udara menjadi saudara-saudari bagi manusia, partner hidup manusia.

Romo Tomo sadar betul bahwa untuk setia dalam proyek tersebut sangat melelahkan dan membutuhkan stamina rohani yang tinggi. Tak jarang, para aktivis bahkan agamawan putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam menangani proyek sosial.

Demikian juga dengan proyek pertanian organik. Dugaan kristenisasi, cemoohan dan perlawanan politik menjadi sandungan. Maka, dalam hal ini kedalaman iman menjadi penting supaya stamina rohani terjaga. Antara altar dan pasar pun seimbang. Ada doa, ada karya. Ibarat ranting, ia harus menempel pada pohon supaya bisa berbuah. Maka, ia “menempel” pada Tuhan supaya bisa beramal setia.

Jerih payahnya bersama para petani tak sia-sia. Makin banyak masyarakat sadar akan pentingnya hidup organik. Makin banyak orang sadar untuk mencintai lingkungan hidup. Makin banyak orang sadar bahwa keadilan ternyata juga harus diterapkan lintas generasi. Jika kita mendapat berkat alam saat ini, kita pun harus berbagi adil dengan anak-cucu kita kelak.

Gerakan pertanian organik yang diperjuangkan Romo Tomo dan banyak orang lainnya tentu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia dilanda korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam pertanian organik yang digagas Romo Tomo terkandung pembelajaran kejujuran untuk berbuat adil baik bagi sesama manusia maupun alam lingkungan.

Pertanian organik juga mengajarkan persaudaraan apa pun latar belakang petani, karena semuanya berjuang demi ketahanan pangan. Gerakan itu sebenarnya menantang kita semua, khususnya umat yang beragama, “bagaimana bisa menyembah Tuhan yang tidak kelihatan, jika kepada sesama manusia apa pun latar belakangnya (agama, suku, sosial, politik) dan alam yang kelihatan saja kita tidak bisa bersaudara dan berbuat adil?”***

Minggu, 30 Juni 2013

Menuju Sinode Keuskupan Banjarmasin 2013



Merumuskan Ardas, Visi dan Misi Keuskupan 10 Tahun ke Depan


Perjalanan 75 Tahun Silam dan Sekilas Misi Borneo

Tanggal 21 Mei 1938 menjadi tanggal bersejarah bagi Keuskupan Banjarmasin, karena pada tanggal tersebut Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan, dan takhta suci Vatikan mengangkat Pater J.M.M. Kusters, MSF sebagai Prefek yang pertama. Lima bulan kemudian Gereja Katedral "Keluarga Kudus" Banjarmasin menjadi saksi bisu pelantikan Mgr. J.M.M. Kusters, MSF, tepatnya pada hari Rabu, 19 Oktober 1938. Bila dihitung, seluruh proses pendirian Prefektur Apostolik Banjarmasin memakan waktu selama 7 tahun.

Pada tahun 1931 Banjarmasin masih merupakan stasi dari Laham yang merupakan pusat misi di wilayah Kalimantan Timur kala itu. Pada tahun 1932 pusat misi dipindahkan dari Laham ke Tering, karena Laham dipandang kurang efisien. Tanggal 27 Februari 1926 tiga orang pionir misionaris MSF tiba di Laham dan disambut hangat oleh 2 orang pater dan 2 orang bruder Kapusin beserta 5 orang suster Fransiskanes dari Veghel dan seluruh penduduk Laham. Ketiga orang misionaris MSF tersebut adalah Pater Fr. Groot, MSF sebagai superior, Pater J.v.d. Linden, MSF dan Bruder Egidius Stoffels, MSF.

Tanggal 10 Maret 1949 Prefektur Apostolik Banjarmasin ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik Banjarmasin dan Pater J. Groen, MSF diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama dan menerima tahbisan uskup pada tanggal 16 Juni 1949 di Kaatsheuvel - Belanda. Pada tanggal 15 Oktober 1949 Mgr. J. Groen, MSF tiba kembali di Banjarmasin dan pada sore harinya langsung dilantik sebagai Vikaris Apostolik Banjarmasin.

Menurut catatan sejarah, pada tahun 1312 datanglah di pulau Kalimantan seorang Pater Fransiskan yakni Pater Olderico de Pordenone. Tidak ada berita yang pasti mengenai tempat di mana beliau berkarya. Tiga ratus tahun kemudian, tepatnya tanggal 2 Pebruari 1688, Pater Antonino Ventimiglia menginjakkan kaki di bumi Kalimantan. Pater Antonino adalah imam pertama dari ordo "Rohaniwan Regulir Penyelenggaraan Ilahi" yang merintis "Misi Borneo".

Perintis Misi Borneo ini kemudian diangkat oleh Paus Innocentius XII sebagai Vikaris Apostolik pertama untuk seluruh pulau Kalimantan. Sayang sekali bahwa jabatan Vikaris ini tidak dijalani karena beliau sudah meninggal dunia pada tahun 1692. Antonino Ventimiglia lahir tahun 1642 sebagai seorang bangsawan di kota Palermo, pulau Sisilia, sebelah selatan semenanjung Italia. Beliau masuk biara St. Yosef milik pater-pater ordo "Rohaniwan regulir Penyelenggaraan Ilahi" yang berpusat di kota Theate, Italia. Oleh karena itu para pater dari ordo ini lebih dikenal dengan nama: "Pater-pater Theatin".

Tanggal 16 Januari 1688 Pater Ventimiglia berangkat dari Macao menuju Banjarmasin. Beliau berangkat tanpa membawa apa-apa kecuali sebuah salib yang dulu pernah dimiliki oleh St. Aloysius Beltrami. Satu keyakinannya bahwa penyelenggaraan Ilahi akan memberikan segalanya. Pater Ventimiglia tiba dengan selamat di Banjarmasin pada tanggal 2 Februari 1688.

Surat Gembala Uskup Menyambut Sinode Tingkat Keuskupan Perdana

Pada tanggal 14 Agustus 2011 silam, Uskup Keuskupan Banjarmasin mengeluarkan Surat Gembala dalam rangka mempersiapkan dan menyambut Sinode Keuskupan Banjarmasin. Dalam suratnya tersebut, Mgr. Petrus Boddeng Timang menyebutkan bahwa Sinode Keuskupan Banjarmasin diadakan dalam rangka menyambut 75 tahun berdirinya Prefektur Apostolik Banjarmasin. "Usia ke-75 tahun bukanlah usia yang pendek, karena saat inilah saat yang istimewa bagi kita untuk kita rayakan dan menjadikannya sebagai momen untuk untuk merefleksikan perjalanan hidup menggereja kita," ucap Uskup Keuskupan Banjarmasin di bagian awal surat gembala. Lebih lanjut Mgr. Timang menegaskan bahwa Sinode Keuskupan Banjarmasin adalah sebuah perayaan iman umat, karena itu keterlibatan seluruh umat sangat diharapkan.

Pada tanggal 25 Oktober 2011 dilakukan sosialisasi sinode dalam pertemuan pastores yang dihadiri oleh para imam, suster, biarawan/biarawati yang berkarya di Keuskupan Banjarmasin. Sejak tanggal 31 Oktober 2011 proses berlangsung begitu cepat hingga 19 November 2011, dimana kegiatan sosialisasi berlanjut ke tingkat paroki. Dalam kesempatan ini tim SC mensosialisasikan alur sinode, sensus umat dan pengisian kuesioner. Sepanjang bulan November 2011 para ketua komunitas/stasi/KBG melakukan distribusi sekaligus menjelaskan kepada umat mengenai cara pengisian blanko sensus beserta kuesioner. Umat di paroki-paroki hingga ke stasi-stasi yang terletak jauh di pedalaman secara serentak melakukan pengisian form sensus umat dan kuesioner. Pada tanggal 15 Januari 2012 diharapkan seluruh form sensus maupun kuesioner telah diterima oleh masing-masing sekretariat paroki.

Tujuan dilangsungkannya sensus dan pengedaran kuesioner bukan sekedar untuk mendapatkan informasi perihal jumlah umat, tetapi juga kondisi riil, ekonomi, sosial, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Sensus dan kuesioner akan dijadikan bahan refleksi bagi keuskupan (baik hirarkhi maupun umat), apakah selama 75 tahun perjalanan Keuskupan Banjarmasin Kabar Baik yang diwartakan sungguh-sungguh diterima dan menjawab kebutuhan umat. Lalu, apakah kehadiran gereja membawa keselamatan bagi semua orang, baik dalam arti rohani maupun dalam kehidupan nyata. Melalui data sensus yang terkumpul, dapat dilakukan langkah-langkah pastoral sesuai kriteria dan kondisi nyata di lapangan.

Menuju Sinode Keuskupan Banjarmasin 2013

Tujuan diadakannya Sinode Keuskupan Banjarmasin adalah membantu uskup diosesan dalam mengambil kebijakan pastoral demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan. Kebijakan pastoral yang dimaksud meliputi arah dasar keuskupan, rencana strategis pastoral dan rencana aksi yang jelas, bertahap dan terukur, efektif dan efisien dalam pelaksanaannya sesuai dengan visi dan misi keuskupan yang telah ditetapkan dalam sinode (bdk. Kan 460).

Panitia Sinode (Tim SC) mengawali Sinode Keuskupan Banjarmasin dengan melakukan penyebaran angket kuesioner dan sensus umat. Kuesioner yang dibagikan kepada umat sekitar 4.000 eksemplar. Namun yang kembali ke meja panitia untuk diolah hanya sepertiganya saja dari jumlah tersebut. Ada banyak alasan mengapa hanya sepertiga saja dari kuesioner yang dikembalikan. Namun di atas semuanya itu, umat diharapkan menyadari dan kemudian mengakui bahwa dalam kehidupan berkomunitas masih harus ditumbuhkembangkan kemauan dan kehendak untuk bergerak bersama sebagai sebuah persekutuan; dengan merelakan waktu, tenaga, pikiran dan seluruh diri untuk membangun kebersamaan.

Rentetan proses Sinode Keuskupan Banjarmasin pun berlanjut, dimana pada bulan Mei 2012 digelar kegiatan Pra-Sinode Komunitas dengan tema, "Beriman, Berbagi dan Bermisi." Kegiatan ini dimaksudkan untuk dapat melibatkan semakin banyak umat dalam persiapan menuju Sinode Keuskupan tahun depan.

Melalui kegiatan Pra-Sinode Komunitas, umat bukan saja diharapkan berani mengungkapkan persoalan serta keprihatinan yang mereka jumpai di dalam komunitasnya, tetapi umat juga diundang untuk memberikan sumbang saran serta pemikiran demi perbaikan komunitasnya masing-masing, paroki maupun Keuskupan Banjarmasin secara umum. Dengan berdiskusi bersama dalam pertemuan Pra-Sinode ini, umat diajak untuk mendalami segala persoalan yang ada sehingga bisa menemukan berbagai faktor yang menjadi penyebabnya; kemudian setelah melihat akar persoalannya, umat diajak untuk mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berhasil ditemukan.

Dengan mengacu kepada hasil Pra-Sinode Tingkat Komunitas, paroki akan membahas akar permasalahan di paroki dan memberikan alternatif solusi atas permasalahan tersebut di bulan Juli - Agustus 2012 dalam kegiatan Pra-Sinode Tingkat Paroki. Selanjutnya hasil Pra-Sinode Tingkat Paroki akan dibawa pada jenjang yang lebih tinggi dalam Pra-Sinode Tingkat Dekenat; dimana Keuskupan Banjarmasin terdiri dari 3 dekenat, yaitu: Dekenat Kota (Paroki Katedral "Keluarga Kudus" Banjarmasin, Paroki St. Perawan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda Kelayan dan Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus Veteran); Dekenat Utara (Paroki Bunda Maria Banjarbaru, Paroki Sta. Theresia Pelaihari dan Paroki Ave Maria Tanjung) dan Dekenat Timur (Paroki Stella Maris Sungai Danau, Paroki St. Vincensius a Paulo Batulicin dan Paroki St. Yusup Kotabaru). Pra-Sinode Tingkat Dekenat dijadwalkan berlangsung pada bulan September - Oktober 2012. Pada rentang waktu bersamaan, digelar pula Pra-Sinode Biara dan Pra-Sinode Kelompok Kategorial.

Berdasarkan masukan-masukan yang berhasil dikumpulkan selama proses Pra-Sinode, maka akan dibahas arah dasar, visi dan misi Keuskupan Banjarmasin dalam Sidang Sinode Keuskupan Banjarmasin di bulan Juli 2013 nanti. Sidang Sinode akan dihadiri oleh uskup, vikaris jenderal, wakil dari paroki-paroki dan dekenat, pimpinan semua tarekat yang berkarya di Keuskupan Banjarmasin serta perwakilan dari kelompok-kelompok kategorial yang ada.



[Dionisius Agus Puguh Santosa]

Jumat, 28 Juni 2013

AGAMA KRISTEN DAN ISLAM TIDAK TERPISAHKAN DAN SALING MELENGKAPI



Komite Hubungan Islam-Katolik yang mengadakan pertemuan ke-19 di Roma sepakat bahwa Kristen dan Islam tidak terpisahkan dan saling melengkapi antara materi dan domain spiritual.

Pertemuan yang berlangsung di Roma, tanggal 18 dan 19 Juni 2013, dipimpin dari pihak Katolik oleh Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Kardinal Jean-Louis Tauran, dan dari pihak Muslim oleh Presiden Forum Islam Internasional untuk Dialog Prof Hamid bin Ahmad Al-Rifaie.

Di akhir pertemuan bertema 'Umat beriman menghadapi materialisme dan sekularisme dalam masyarakat' itu, para delegasi Katolik dan Muslim menyepakati enam poin yang ditandatangani oleh kedua presiden itu sebagai berikut:

Pertama, “Agama Kristen dan agama Islam menegaskan ketidakterpisahkan dan saling melengkapi antara bidang materi dan spiritual. Tanggung jawab kami sebagai umat beragama adalah menyesuaikan dimensi-dimensi kehidupan ini.”

Kedua, “Banyak orang saat ini kehilangan akar spiritual dan keagamaan; fenomena ini melemahkan dimensi batin dan moral pribadi dan masyarakat.”

Ketiga, "Dunia saat ini sedang menghadapi berbagai macam krisis. Kami menyadari tanggung jawab bersama sebagai orang yang percaya kepada Tuhan untuk melakukan apa saja yang bisa melindungi orang-orang yang rentan saat ini.”

Keempat, “Para peserta merasa terhormat dan senang diterima dalam audiensi oleh Paus Fransiskus, yang mendorong mereka untuk melanjutkan upaya dialog yang penuh hormat dan berbuah di antara umat beragama demi perdamaian dan kemakmuran dunia.

Kelima, “Secara khusus kami mengutuk keras apa yang sedang terjadi di Suriah: membunuh banyak orang tak bersalah, agresi terhadap karakter suci kehidupan manusia dan terhadap martabat manusia. Maka, kami mendesak organisasi-organisasi internasional dan regional untuk melakukan apa saja yang mungkin menghentikan pertumpahan darah, sesuai Hukum Internasional.

Keenam, “Komite akan mengadakan pertemuan berikut di Tatwan (Marocco). Pertemuan itu akan diawali dengan acara persiapan. Pihak Muslim akan menjadi penyelenggara.”

Komite Hubungan Islam-Katolik yang didirikan tahun 1995 oleh Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama dan Forum Islam Internasional untuk Dialog mengadakan pertemuan setiap tahun untuk bertukar pandangan dan prospek demi masa depan hubungan antara kedua komunitas itu dan membahas usulan tema yang menjadi kepentingan bersama.***

Rabu, 26 Juni 2013

Lectionarium dan Tahun Liturgi Bagaimana Katolik Membaca Kitab Suci

oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.
Mengapakah seorang Katolik yang ingin memperdalam pemahamannya akan Kitab Suci mengambil bahan bacaan dari tahun liturgi? Jawabnya sederhana: tahun liturgi tidak hanya semata-mata mengenai warna busana liturgi, abu dan palma, poinsettia Natal dan lili Paskah. Tahun liturgi adalah “konteks resmi” di mana umat Katolik mendengarkan Kitab Suci yang diwartakan, dan kontkes ini penting bagi pemahaman kita akan Kitab Suci. Sebagian besar benua mengalami empat macam musim: musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Saya menyukai variasi musim-musim itu. Kelimpahan dan keanekaragaman alam yang mengagumkan memenuhi saya dengan ketakjuban akan keindahan dan keelokan alam sang Pencipta.
Tahun liturgi juga mempunyai masa-masanya: Masa Adven / Natal (termasuk Adven, Hari Raya Natal dan pesta-pesta sepanjang Masa Natal hingga Pesta Pembaptisan Tuhan) dan Masa Prapaskah / Paskah (Masa Prapaskah, Hari Raya Paskah dan kelimapuluh hari hingga Hari Raya Pentakosta). Sepanjang masa-masa ini, kita membaca bacaan-bacaan yang dipilih dari Kitab Suci sehubungan dengan misteri-misteri agung iman kita.
Misteri Kristus begitu kaya dan beragam hingga satu gambaran atau satu pandangan saja tidak akan cukup. Sewaktu saya belajar liturgi di Perancis sepanjang tahun-tahun sesudah Konsili Vatican Kedua, saya mendapati banyak arca yang begitu indah. Saya terkenang akan bagaimana saya frustrasi dalam usaha menyampaikan keindahan karya seni tersebut kepada ibu saya di Kansas hanya dengan mengiriminya selembar kartu pos atau selembar foto. Tidaklah mungkin sebuah gambar datar dapat menangkap keindahan dari karya seni tiga dimensi. Seringkali hal terbaik yang dapat saya lakukan adalah mengitari patung dan mengambil gambarnya dari berbagai sudut pandang dan perspektif dan dengan cara demikian berusaha menangkap setidak-tidaknya sesuatu dari kekayaan pengalaman tersebut.
Masa-masa liturgi mempunyai tujuan yang sama dalam memperlihatkan kepenuhan misteri Kristus. Sepanjang rangkaian masa satu tahun, kita mengalami misteri ini dari berbagai sudut pandang dan dalam situasi-situasi yang berbeda. Dalam kata-kata Konsili Vatican Kedua: “Selama kurun waktu setahun, Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #102).

Bacaan dari ….
Mendengarkan Kitab Suci pada waktu Misa merupakan suatu bentuk pengalaman yang lain dari mendalami Kitab Suci secara pribadi di rumah atau bersama kelompok. Ketika Kitab Suci diwartakan dalam liturgi, Kristus Sendiri hadir dengan suatu cara yang istimewa. Konstitusi tentang Liturgi Suci dari Konsili Vatican Kedua memaklumkan: “Ia hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia Sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (#7).
Para uskup Konsili Vatican Kedua tahu bahwa apabila mereka bermaksud memenuhi kerinduan mereka untuk “makin meningkatkan kehidupan Kristiani di antara umat beriman” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #1), mereka harus mengembalikan Kitab Suci ke tempat pusatnya dalam liturgi dan dalam kehidupan umat Katolik. Apabila kita hendak mengikuti Kristus, kita harus mengenal Kristus; agar mengenal Kristus, kita wajib mengenal Kitab Suci. Sepeti yang pernah dikatakan St Hieronimus, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.”
Konsili mendekritkan: “Agar santapan Sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Kitab Suci dibuka lebih lebar [dalam Ekaristi]” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #51). “Rancangan” untuk mencapai maksud ini tercantum dalam sebuah buku yang disebut lectionarium. Karena hari Minggu adalah “pangkal segala hari pesta” serta “dasar dan inti segenap tahun liturgi”(Konstitusi tentang Liturgi Suci, #106), maka ayat-ayat paling penting dari Kitab Suci disajikan dalam lectionarium hari Minggu. Lectionarium pada hari-hari lainnya melengkapi lectionarium hari Minggu.
Dalam kurun waktu satu tahun, bacaan-bacaan Kitab Suci untuk Misa dipilih dengan satu dari dua macam cara. Sepanjang masa-masa utama tahun liturgi (Masa Prapaskah / Masa Paskah dan Masa Adven / Masa Natal), ayat-ayat dipilih berdasarkan “tema”, yakni, hubungannya dengan suatu misteri tertentu iman kita. Pada hari-hari Minggu sisanya sepanjang tahun, yang disebut sebagai “Masa Biasa”, berbagai kitab-kitab dari Kitab Suci dibacakan kurang lebih dari awal hingga akhir selama beberapa minggu.
Konsili Vatican Kedua menetapkan bahwa lectionarium hendaknya disusun begitu rupa “sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab Suci dibacakan kepada umat.” Lectionarium hari Minggu mempergunakan lingkaran tiga tahun berdasarkan tiga Injil sinoptik (Matius, Markus dan Lukas menyajikan suatu “pandangan serupa”, syn-opsis dalam bahasa Yunani). Setiap tahun kita memfokuskan diri pada salah satu dari ketiga Injil ini: Matius dalam Tahun A, Markus dalam Tahun B, Lukas dalam Tahun C. Injil Yohanes dihadirkan teristimewa sepanjang masa-masa utama atau untuk menggarisbawahi doktrin-doktrin utama seperti Ekaristi.
Selain bacaan Injil, dalam setiap perayaan Ekaristi hari Minggu dibacakan dua bacaan lain. Bacaan pertama biasanya diambil dari Perjanjian Lama dan dipilih dalam terang tema Injil yang dibacakan pada hari Minggu itu. Bacaan Kedua diambil dari surat-surat Paulus atau salah satu dari tulisan-tulisan lain Perjanjian Baru. Seperti Injil, kitab-kitab ini dibacakan semi-berkesinambungan dan dipilih agar dalam kurun waktu satu lingkaran tiga tahun kita telah menikmati masing-masing dari kitab-kitab Perjanjian Baru. Sebagai misal, sepanjang hari-hari Minggu pada Masa Biasa dalam Tahun A kita membaca dari Korintus I (selama 7 hari Minggu berturut-turut), Roma (16 hari Minggu berikutnya), Filipi (4 hari Minggu) dan Tesalonika I (5 hari Minggu).

Merayakan Kristus di Tengah Kita
Natal adalah sekaligus awal dan akhir tahun Gereja. Pada Masa Natal kita merayakan Kristus yang datang di tengah-tengah kita dalam rupa manusia di Betlehem dan kita mengarahkan perhatian kita pada kedatangan Kristus dalam kemuliaan pada akhir zaman. Pada Masa Adven, empat minggu masa sukacita dan pengharapan rohani yang mendahului Natal, bacaan-bacaan dari Kitab Suci dipilih dalam terang tema ganda ini. Bacaan-bacaan Minggu Adven I mengenai kedatangan Kristus yang kedua kalinya pada akhir zaman. Pada Hari Minggu Adven II dan III, kita membaca kisah Yohanes Pembaptis. Pada hari-hari akhir Adven kita membaca mengenai peristiwa-peristiwa yang secara langsung berhubungan dengan persiapan kelahiran Tuhan (bab-bab pertama dari Injil Matius dan Injil Lukas).
Pada masa ini, bacaan-bacaan Perjanjian Lama adalah nubuat mengenai Mesias dan jaman mesianik, teristimewa ayat-ayat yang mengagumkan dan penuh pengharapan dari Kitab Yesaya: “bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang…” (2:4b); “Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya…” (11:6b).
Hari Minggu adalah perayaan Kristiani paling awal dan paling tua. Komunitas-komunitas Kristiani perdana mulai merayakan hari Minggu yang paling berdekatan dengan Paskah Yahudi dengan kekhidmadan yang khusuk. “Paskah Kristiani” ini menjadi apa yang sekarang kita sebut Paskah. Seperti Paskah merayakan perjalanan Kristus dari mati kepada hidup, perayaan ini segera saja menjadi masa istimewa bagi komunitas untuk merayakan Sakramen Baptis, yakni perjalanan umat Kristiani dari mati kepada hidup dalam Kristus.
Dalam abad keempat dan kelima, Gereja mengembangkan suatu sistem ritus guna menemani perjalanan iman mereka yang rindu untuk menjadi umat Kristiani. Sekarang, ritus ini telah dihidupkan kembali sebagai Ritus Inisiasi Kristiani untuk Orang Dewasa. Empatpuluh hari terakhir dari perjalanan ini menjadi apa yang sekarang kita sebut sebagai Masa Prapaskah.
Pembaptisan adalah kunci untuk memahami pemilihan ayat-ayat Kitab Suci yang dibacakan sepanjang Masa Prapaskah. Sebagai misal, Injil untuk Hari Minggu Prapaskah I adalah kisah pencobaan Yesus di padang gurun. Masa Prapaskah adalah masa retret sebelum pembaptisan. Dalam Injil, Yesus undur diri ke padang gurun untuk berdoa. Simbol utama Pembaptisan adalah air; padang gurun menyebabkan kita dahaga akan air. Dalam keempat Injil, kisah pembaptisan Yesus segera diikuti dengan kisah pencobaan di padang gurun.
Pada Hari Minggu Prapaskah II kita mendengar kisah transfigurasi dan kita melihat Yesus dalam pakaian Paskah-Nya. Kita dapat membayangkan mereka yang dipilih untuk pembaptisan menerima pakaian putih mereka seolah mereka keluar dari kolam pembaptisan pada hari Paskah.
Bacaan-bacaan Tahun A mengungkapkan tema pembaptisan teristimewa dengan amat baik dan dapat dipergunakan setiap tahun pada Hari Minggu Prapaskah III, IV dan V. Pada Hari Minggu Prapaslah III dalam Tahun A, misalnya, kita mendapati Yesus di tepi sebuah sumur di Samaria di mana seorang perempuan meminta air hidup. Tidak dapat tidak kita berpikir tentang air hidup pembaptisan kita.
Pada Hari Minggu Prapaskah IV kita membaca kisah seorang laki-laki yang terlahir buta. Sementara Yesus menyuruhnya, “Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam (Siloam artinya: “Yang diutus”)” (Yohanes 9:7) kita mengenangkan bagaimana kita pergi dan membasuh diri dalam Kristus, “Dia yang diutus ke dalam dunia” demi keselamatan kita. Kita keluar dari kolam dengan terang dan dapat melihat dengan cara pandang yang baru.
Pada Hari Minggu Prapaskah V, ketika kita mendengarkan kisah Lazarus yang keluar dari makam, pikiran kita tertuju kepada mereka yang baru dibaptis keluar dari makam pembaptisan dan dibebaskan dari belenggu dosa.
Perubahan radikal kita dengan dibaptis ke dalam wafat dan kebangkitan Kristus adalah fokus dari perayaan Paskah. Kebangkitan adalah misteri inti iman kita. Paskah begitu penting hingga kita bahkan tak dapat merayakannya secara cukup dalam satu hari saja – melainkan selama satu minggu, Oktaf Paskah. Dan terlebih lagi, membutuhkan satu minggu hari minggu (7 x 7) – 50 hari, Pentakosta (pent ekonta, bahasa Yunani artinya 50). Setiap hari dari kelimapuluh hari ini adalah Paskah. Perhatikan bahwa kita berbicara mengenai hari-hari Minggu Paskah, bukan hari-hari Minggu sesudah Paskah. Pentakosta adalah hari terakhir perayaan Paskah kita.
Selama Limapuluh hari ini, kita melihat kepada akar Kristiani kita. Setiap hari dalam Misa, baik hari-hari Minggu maupun hari-hari biasa, kita membaca dari Kisah Para Rasul. Mereka yang baru saja dibaptis tidak hanya “mengenakan Kristus”, mereka mengenakan Tubuh-Nya, Gereja, dan mereka (bersama kita) mengambil waktu sepanjang limapuluh hari ini untuk merenungkan siapa keluarga itu, “Gereja” itu. Kita melihat gambaran akan kelahiran dan perkembangan awal Gereja kita dalam Kisah Para Rasul.

“Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya!”
Pada hari Pentakosta kita mendengarkan sekaligus catatan Lukas dan Yohanes mengenai turunnya Roh Kudus atas para rasul. Dalam bacaan pertama kita mendengarkan kisah Lukas mengenai turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-11). Bacaan Injil menyajikan kisah Yohanes mengenai anugerah Roh Kudus pada hari Minggu Paskah (Yohanes 20:19-23). Kita tidak perlu mempertanyakan apakah Roh Kudus dianugerahkan pada hari Pentakosta (seperti dicatat Lukas) atau pada hari Minggu Paskah (seperti dicatat Yohanes); liturgi tidak mengenai sekedar pembacaan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, pun Kitab Suci tidak berusaha menyajikan catatan historis mengenai peristiwa-peristiwa ini. Melainkan, “melalui liturgi dalam Kurban Ilahi Ekaristi, `terlaksanalah karya penebusan kita’” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #2). Roh Kudus dianugerahkan pada hari ini, pada Pentakosta ini. Ketika kita mendengarkan Passio Kristus dimaklumkan pada hari Jumat Agung dan kita memadahkan “Adakah Engkau di Sana Ketika Mereka Menyalibkan Tuhan-ku?”, jawabnya adalah, tentu saja, “Ya! Aku ada di sana! Aku ada di sana sekarang ini!” Paskah tidak hanya sekedar mengenangkan suatu peristiwa yang terjadi dua ribu tahun yang lampau. Kristus bangkit dalam diri kita sekarang ini.
Konsili Vatican Kedua mengajarkan bahwa, “Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #102). Liturgi memungkinkan kita untuk melampaui waktu “dahulu-sekarang-yang akan datang” dan masuk ke dalam “waktu keselamatan” Tuhan agar rahmat dan misteri dari peristiwa yang kita kenangkan itu dihadirkan kembali.
Saya tidak perlu merasa kecewa bahwa saya “dilahirkan terlambat” dan segala peristiwa Kristiani yang mengagumkan telah terjadi jauh di masa silam sebelum jaman saya. Peritiwa-peristiwa Kristiani yang mengagumkan terjadi sekarang ini. Bacaan Kitab Suci dalam konteks tahun liturgi memaklumkan kebenaran yang mengagumkan ini lagi dan lagi.
FThomas Richstatter, O.F.M., S.T.D., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institut Catholique of Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : The Lectionary and the Liturgical Year: How Catholics Read Scripture by Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.”; Copyright St. Anthony Messenger Press;http://www.americancatholic.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: http://www.indocell.net/yesaya”